Makalah Antropologi Hukum: Tentang Perkawinan

Minggu, 08 April 2012

BAB I
PENDAHULUAN

I.1 Latar Belakang
Sudah menjadi hukum alam bahwa manusia sejak dilahirkan ke dunia selalu mempunyai kecenderungan untuk hidup bersama dengan manusia lainnya dalam suatu pergaulan hidup. Manusia tidak bisa hidup sendiri  tanpa orang lain, manusia membutuhkan manusia lain untuk hidup bersama dan bekerja sama. Ia telah ditentukan harus hidup berkelompok dan hidup bermasyarakat.

            Dalam kehidupan manusia di dunia ini yang berlainan jenis kelaminnya secara alamiah mempunyai daya tarik-menarik antara satu dengan yang lainnya untuk dapat hidup bersamanya atau untuk membentuk suatu ikatan lahir dan batin dengan tujuan menciptakan suatu keluarga atau rumah tangga yang rukun, bahagia, sejahtera, dan abadi.
            Menurut Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, yang disebut Perkawianan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan untuk membentuk keluarga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
            Perkawinan merupakan lembaga yang berkaitan langsung dengan kodrat manusia untuk mempertahankan hidup dan mempertahankan jenisnya. Melalui perkawinan manusia dapat memenuhi kebutuhan dasar dan kebutuhan lainnya secara lebih baik serta dapat mengembangkan kebudayaan untuk meningkatkan kenyamanan hidupnya. Sampai saat ini, meskipun teknologi telah berkembang pesat, secara umum manusia berkembang lebih baik untuk mempertahankan jenisnya melalui perkawianan secara alami. Sebagai suatu lembaga, perkawianan baru dapat memenuhi fungsinya tersebut apabila dilakukan dalam suatu tata aturan, dengan menjungjung tinggi harkat martabat kemanusiaan.
            Tata aturan pelaksanaan perkawinan tidak lepas dari budaya dan lingkungan di mana perkawianan tersebut dilaksanakan. Faktor pengetahuan, pengalaman, kepercayaan, dan agama yang dianut masyarakat mempengaruhi bagaimana suatu perkawianan dilaksanakan. Pada umumnya perkawianan tidak cukup hanya diatur oleh norma agama maupun norma kesusilaan, tetapi juga diatur dengan norma hukum .
            Yang menjadi pertanyaan kita adalah kita sudah mempunyai Undang-undang yang menatur tentang perkawinan yaitu Undang-undang No. 1 tahun 1974, tetapi mengapa perkawinan disetiap daerah itu berbeda-beda. Biasanya yang membedakan ialah dari segi tata upacaranya.    


I.2  Rumusan Masalah.
            Berdasarkan pemaparan di atas bisa tarik beberapa rumusan masalah yang akan dibahas yaitu:
1.      Mengapa perkawinan disetiap daerah berbeda?
2.      Bagaimana tata cara perkawinan Nyentana di Bali?


I.3 Tujuan
            Adapun tujuan ialah
1.      Untuk mengetahui mengapa perkawinan disetiap daerah itu berbeda!
2.      Untuk mengetahui tata cara perkawinan Nyentana di Bali!




BAB II
PEMBAHASAN
II. Perkawinan di setiap Daerah berbeda.
            Dalam undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan telah mengatur arti dan maksud perkawinan, yaitu menurut ketentuan pasal 1 yang berbunyi : “Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seseorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan untuk membentuk keluarga yang bahagia yang kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”
            Perkawinan adalah suatu proses yang sudah melembaga yang mana laki-laki dan perempuan memulai dan memelihara suatu hubungan timbal baliknya yang merupakan dasar bagi suatu keluarga yang menimbulkan hak dan kewajiban baik antara laki-laki dan perempuan maupun dengan anak-anak yang kemudian dilahirkan.
            Pasal 1 Undang-undang No.1 tahun 1974 tentang Perkawinan menyebutkan bahwa tujuan perkawinan adalah membentuk keluarga sehingga terwujud hubungan suami istri yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Melalui hubungan suami istri yang bahagia dan kekal inilah diharapkan akan didapat keturunan yang akhirnya dapat diwujudkan disini bukanlah keturunan
            Pengertian tentang perkawinan serta tujuan dari suatu perkawinan  disetiap daerah pastilah sama. Tetapi kadang yang membedakan antara perkawinan di daerah satu dan perkawinan di daerah lain itu berbeda. Biasanya yang membedakan perkawinan daerah satu dan daerah yang lain adalah tata upacaranya. Hal ini disebabkan oleh beberapa factor.
            Faktor yang paling mempengaruhi ialah factor kebudayaan yang dianut oleh daerah tersebut. Seperti daerah Bali yang menganut sistem patrilineal yaitu perkawinan menurut garis keturunan pihak laki-laik, atau suami menjadi kepala rumah tangga, berbeda dengan kebudayaan daerah minang kabau yang dimana sistem yang digunakan adalah sistem matrilineal. Dengan sistem ini, perempuan yang mempunyai kekuasaan yang lebih di bandingkan kaum pria. Dimana perempuan menjadi kepala rumah tangga. Dan ada juga sistim parental yang dianut oleh Jawa dan Kalimantan yaitu kedudukan pihak laki-laki dan perempuan sama, atau sederajat. Dimana pihak perempuan mempunyai hak yang sama dalam berbagai hal di dalam rumah tangga. Misalnya pembagian hak waris.  
Selain factor kebudayaan yang mempengaruhi, factor yang tak kalah mempengahuhi mengapa perkawinan di setiap daerah itu berbeda adalah factor geografis. Masyarakat yang tinggal di pedalaman tata cara perkawinannya akan terlihat lebih kental dengan adat mereka yang masih asli berdasarkan turunan dari nenek moyang mereka karena belum dipengaruhi oleh budaya luar.
Faktor selanjutnya adalah factor ekonomi masyarakat. Pada umumnya masyarakat yang kurang mampu tata cara perkawinannya akan dibuat lebih sederhana dibandingkan dengan orang yang latar belakang ekonominya mampu cenderung memilih upacara perkawinan yang terkesan mewah sehingga dari segi ekonomi akan menelan biaya yang cukup banyak.
Faktor- factor inilah yang mempengaruhi mengapa perkawinan disetiap daerah berbeda-beda.
II. 2 Perkawinan Nyentana di Bali
Tujuan perkawinan secara kasat mata ialah hanya untuk melajutkan keturunan suatu keluarga. Masalaha kan timbul dimana suatu kelurga tidak memiliki anak laki-laki sebagai oenerus keturunan, sehingga untuk menghindari putursnya keturunan keluarga yang tidak memiliki laki-laki ini akan menetapkan salah seorang anak perempuannya sebagai sentana rajeg (statustnya diangkat menjadi laki-laki yang akan mewarisi milik orang tuanya) Pengertian perkawinan nyentana yaitu perkawinan dimana seorang laki-laki ikut dalam keluarga istrinya, tinggal dirumah istrinya dan semua keturunannya menjadi milik pihak keluarga istri. Dalam perkawinan biasa, lazimnya seorang lelaki yang melamar seorang perempuan untuk dijadikan istrinya. Namun dalam perkawinan nyentana si perempuan yang melamar di laki-laki untuk dijadikan suaminya untuk selanjutnya diajak tinggak dirumah si gadis. Sementara itu keturunannya akan menjadi milik dan melanjutkan keturunan keluarga istrinya tadi. Seperti diketahui dalam sistem kekeluargaan patrilinial berlaku prinsip bahwa dalam perkawinan seorang istri mengikuti keluarga suaminya. Bentuk perkawinan nyentana justru menunjukkan hal sebaliknya yaitu suami ikud istrinya.
Tata cara perkawinan nyentana di Bali hampir sama dengan tata cara perkawinan biasa, namun yang membedakannya ialah pihak perempuan menjadi purusha yaitu:
a.       Mejantos: Pemberitahuan pihak perempuan kepada keluarga pihak laki-laki bahwa pihak perempuan akan meminang calon mempelai laki-laki.
b.      Widiwidana: Upacara ini diawali dengan upacara mebeyakala.
c.       Upacara mepejati atau penyaksian: kedua mempelai melaksanakan puja bakti sebanyak lima kali pada Ida Sang Hyang Widhi Wasa.   




 
 

BAB III
Penutup
III.1 Simpulan
            Berdasarkan pemaparan diatas maka bisa kita tarik beberapa simpulan yaitu:
a.       Tata cara perkawinan dimasing-masing daerah sangat dipengaruhi oleh factor kebudayaan, geografis, dan ekonomi daerah tersebut.
b.      Tata cara perkawinan nyentana daerah satu dan yang laen di Bali hampir sama.       

0 komentar:

Posting Komentar